Begitu terdengar PON XX akan diselenggarakan di Papua banyak yang underestimit. Bisa kah ? Pertanyaan itu yang selalu terlintas. Bahkan hingga di tahun-tahun terakhir masih banyak yang bekum yakin. Atau kalau toh jadi hasilnya akan hanya asal-asalan.
Pendapat yang meragukan itu pupus sudah setelah melihat Pembukaan PON Papua oleh Presiden Joko Widodo, menuai acungan jempol bahkan dari nitizen luar negeri. Komentar tim tamu baik para atlet maupun ofisial kontingen menyatakan Papua oke banget. Mereka seperti sejenak melupakan penatnya pandemi di daerah masing-masing. Seakan lupa pertandingan bahkan. Asyik ke tempat-tempat wisata keren menghiasi instragram masing-masing. Mereka asyik dengan alam Papua dan masyarakat Papua.
Kenapa gagasan PON Papua yang terkesan nekat ini berhasil menjadi kenyataan ? Tentu ada jalan ceritanya tersendiri. Pertama adalah merubah mainset orang-orang Jakarta dengan mengusung tema PON Kebangsaan.
Bahwa bukan infrastruktur terlebih dahulu baru bisa jadi tuan rumah PON, melainkan tetapkan dulu tujuannya baru infrastruktur mengikuti dari belakang. Ini ide awalnya. Membalik mainset pusat. Mau sampai kapan bisa jadi Tuan Rumah PON kalau infrastrukturnya nunggu lengkap terlebih dahulu. Tidak setiap provinsi sekaya DKI Jakarta APBD-nya.
Di era Sukarno tiga PON digilir, Solo Jawa Tengah, lalu Medan Sumatera dan Makassar Sulawesi. Di era Orde Baru PON selalu di Jawa, Surabaya dan DKI. Baru era Reformasi bergeser ke provinsi luar Jawa yang kaya APBD-nya : Palembang, Kaltim dan Riau.
PON Papua adalah titik balik bagi provinsi lain yang selama ini hanya jadi kontingen tamu dalam perhelatan PON, untuk mengajukan menjadi tuan rumah. Aceh mengikuti yang sudah dimulai oleh Papua.
Ide PON Kebangsaan sudah disambut dengan serta-merta oleh provinsi-provinsi yang selama ini hanya jadi peran kontingen tamu. Mereka lah yang pertama memberi dukukangan suara kepada Papua.
PON Kebangsaan yang berpihak kepada provinsi tertinggal, hendaknya mengakhiri hegemoni provinsi maju yang sudah berulang kali jadi tuan rumah PON. Kesempatan kedepan secara bergilir diberikan kepada provinsi yang belum sempat merasakan bagaimana menjadi tuan rumah. Ini, seperti dikatakan Gubernur Lukas Enembe dalam sambutannya, untuk merakit dan merekatkan rasa berbangsa dalam kebhinekaan yang adil.
Selain mengusung tema baru PON Kebangsaan dalam teklen Torang Bisa yang menginspirasi provinsi tertinggal lainnya, PON Papua menempuh jalur regulasi. Papua meloby presiden untuk dibuatkan payung hukum Inpres. Dengan payung hukum itulah,
merubah mainset lama bahwa pendanaan PON seluruhnya harus ditanggung provinsi tuan rumah. Cara ini jadi metode baru bagi provinsi dengan APBD miskin yang ingin jadi tuan rumah PON.
Bukan itu saja, mengundang partisipasi kementerian untuk ikut ambil bagian dalam perhelatan besar olahraga pun dilakukan. Gubernur Papua keliling mengetuk pintu puluhan kantor kementerian untuk urun partisipasi, mengambil bagian dalam PON ini. Maka PON Papua adalah PON yang dihadiri menteri terbanyak.
PON Papua juga membuat terobosan baru dengan membuat Sub PB PON. Ini kebijakan yang unik, karena biasanya orang Indonesia pada umumnya tidak mau membagi anggaran yang sudah ada di tangannya. Jadi bupati dan walikota jadi tuan rumah PON mini di wilayahnya.
Torang Bisa. Wa wa wa
Abdul Munib
Penjab SIWO PWI Pusat