Tahun 2020 telah berlalu, berbagai kejutan tak terduga hadir dan terekam sebagai jejak kenangan di sepanjang tahun.
Pertama kalinya dalam satu dasawarsa, dunia dikejutkan dengan adanya pandemi global yang menyebar dengan cepat di seluruh penjuru dunia.
Tak terkecuali di wilayah timur Indonesia, Papua.
Papua dengan segala eksotismenya tak lekang oleh kerentanan stabilitas regional dari berbagai sisi, baik itu ekonomi, sosial, keamanan, dan politik.
Tanpa adanya pandemi yang melanda saja, Papua sudah memiliki tugas-tugas besar yang belum terselesaikan.
Dari masalah kemiskinan yang tak pernah surut, keamanan wilayah yang terus berada di ujung tanduk, berbagai penyakit endemi yang terus mewabah, pendidikan yang masih menjadi barang mewah, dan bahkan isu malnutrisi balita yang terus menjadi hot issue sepanjang lima tahun terakhir.
Berbeda dengan wilayah metropolitan di Indonesia yang sudah mumpuni mengayomi masyarakatnya dengan kemudahan akses di segala bidang dan ketahanan wilayah yang tangguh dalam menghadapi tantangan dunia modern.
Kecukupan fasilitas dan sumber daya manusia yang andal menjadi capital power yang paling utama dalam menciptakan ketahanan wilayah yang tangguh.
Hingga saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, wilayah-wilayah ini dengan sigap mampu menghadapi berbagai efek domino dari pandemi yang ada.
Sepanjang 2020 tercatat, pandemi Covid-19 menghantam ekonomi nasional hingga menyebabkan resesi di triwulan 2 dan 3 dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,32 persen dan 3,49 persen dibandingkan pada 2019.
Resesi yang terjadi merupakan akibat yang tidak bisa dielakkan dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah guna menghambat penyebaran virus Covid-19.
Namun, kita boleh sedikit berbangga pada negara kita karena secara perlahan mampu memulihkan kondisi ekonomi di tengah masa pandemi yang belum berakhir.
Kesuksesan bangsa kita dalam meredam efek pandemi tentu disumbang oleh kontribusi besar berbagai wilayah tangguh di Indonesia.
Provinsi di Pulau Jawa sendiri menyumbang 58,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, diikuti oleh kelompok provinsi di Sumatera dengan kontribusi sebesar 21,58 persen. Kalimantan dan Sulawesi dengan kontribusi di atas lima persen.
Jika dipandang dari sisi makro, bangsa kita adalah bangsa yang kuat, terbukti dari kemampuannya meredam efek penyebaran virus Covid-19.
Namun jika ditilik lebih jauh dari sisi regional ternyata terdapat disparitas besar antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Pandemi terjadi secara merata, menyebar hingga ke seluruh pelosok negeri tanpa terkecuali ke wilayah timur Indonesia, Papua.
Jika kelompok wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera mampu mengatasi berbagai masalah akibat penyebaran Covid-19, maka seyogianya wilayah lain pun bisa melakukan hal serupa.
Namun nyatanya, efek yang terjadi di wilayah timur (Papua) jauh lebih besar dibandingkan wilayah lain.
Dari sisi kesehatan sendiri, Papua cukup babak belur kewalahan dalam menangani berbagai kasus Covid-19.
Tingkat insidensi penularan Covid-19 di Papua sangat tinggi; Kota Jayapura bahkan menempati urutan kedua setelah Jakarta Pusat, dengan tingkat penularan Covid-19 mencapai 108 kasus per 100.000 penduduk.
Ranking ini hanya terpaut satu tingkat di bawah Jakarta Pusat dengan tingkat insidensi sebesar 149,2 kasus per 100.000 penduduk.
Padahal jika dibandingkan, fasilitas Kesehatan yang tersedia di Jayapura jauh lebih sedikit dibandingkan Jakarta Pusat atau wilayah metropolitan lain di Indonesia.
Selain fasilitas Kesehatan yang terbatas, tenaga kesehatan serta perlengkapan alat pelindung diri (APD) juga sangat minim di wilayah Papua.
Tenaga kesehatan di berbagai belahan Papua harus bekerja extra hours untuk memberikan layanan kesehatan prima.
Akibatnya tidak sedikit tenaga kesehatan yang gugur dalam menjalani peran mulia mereka.
Dari sisi ekonomi, Papua banyak bergantung pada distribusi dari daerah lainnya.
Dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), otomatis distribusi barang dan jasa menjadi terhambat.
Lantas menyebabkan kelangkaan barang dan jasa, utamanya kebutuhan pokok masyarakat.
Kelangkaan ini mengakibatkan berbagai harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Inflasi year on year di Papua pada Mei mencapai 0,85 persen dengan kenaikan harga utamanya terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau; perumahan; air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga.
Selanjutnya pada Juli kenaikan harga terus melambung hingga mencapai inflasi sebesar 1,88 persen.
September dan November kenaikan harga masih terus meningkat dengan inflasi sebesar 1,93 persen dan 1,30 persen.
Semua kenaikan harga di Papua sepanjang semester dua 2020 berada di atas satu persen.
Kebijakan PSBB juga menyurutkan perekonomian di wilayah Papua.
Pada triwulan ketiga, Papua mengalami kontraksi ekonomi sebesar 2,61 persen.
Sektor yang terdampak PSBB terbesar tentu saja transportasi dan pergudangan yang menurun 43,29 persen, hampir separuhnya.
Akomodasi transportasi di wilayah Papua yang didominasi oleh transportasi udara dan laut mengalami penurunan yang sangat signifikan lantaran adanya pembatasan sosial, bahkan beberapa kabupaten di Papua menerapkan lockdown total selama beberapa periode guna mencegah penyebaran virus.
Sektor penyedia akomodasi seperti perhotelan, penginapan, dan penyedia makan-minum juga menurun sebesar 22,40 persen atau hampir seperempat dari kondisi normal.
Kontraksi di berbagai sektor ekonomi juga berefek pada peningkatan jumlah pengangguran di Papua, sebesar 1,28 persen dibandingkan pada 2019.
Efek Sosial Efek pandemi yang terparah terjadi di Papua adalah efek sosial, utamanya dalam pembangunan kualitas manusia.
Sebut saja dunia pendidikan di Papua yang mengalami stagnasi selama masa pandemi.
Belajar jarak jauh secara daring hanya bisa terlaksana di beberapa wilayah (kurang dari 5 persen) akibat keterbatasan internet.
Tak usah pula menilik efektivitas aktivitas belajar-mengajar daring yang amat minim.
Beberapa tenaga pendidik mengupayakan usaha lebih dengan mengunjungi rumah siswanya satu per satu.
Sayangnya, tugas mulia ini tidak didukung dengan penambahan upah sekedar untuk membayar ongkos transport mereka.
Alhasil, upaya ini pun berhenti di tengah jalan.
Pendidikan di Papua pun otomatis freeze.
Mirisnya, penurunan stabilitas sosial ini terekam melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang menurun sebesar 0,66 persen dalam setahun.
Padahal untuk mendongkrak IPM Papua sebesar 0,5 persen saja membutuhkan waktu lebih dari setahun.
Dalam lingkup nasional, Papua adalah provinsi kedua setelah Kalimantan Utara yang mengalami penurunan IPM.
Dari sisi IPM, penurunan terbesar tentu saja berasal dari standar hidup layak masyarakat di Papua.
Dengan segala kondisi yang terjadi (inflasi, resesi, peningkatan pengangguran) standar hidup layak Papua menurun drastis sebesar 5,21 persen.
Rata-rata pengeluaran per kapita selama setahun yang sebelumnya mencapai 7,3 juta turun menjadi 6,9 juta.
Ini belum ditambah dengan peningkatan kriminalitas di Papua yang semakin meningkat di atas satu persen.
Di tengah kemelut pandemi yang memberikan efek berlapis pada masyarakat di Papua, isu disparitas yang mengancam keutuhan bangsa terus saja berlanjut.
Sayang seribu sayang, Papua senantiasa berada di ujung tanduk, menjadi anak emas perebutan kekuasaan tanpa mengindahkan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.
Pemerintah ditantang lebih, di tahun mendatang, mampukah meningkatkan kehidupan masyarakat Papua menjadi selayak kualitas masyarakat Indonesia pada umumnya ?
(Diah Wahyuni statistisi Papua)