Oleh : John N.R Gobay
Ada kerinduan lain di Papua yakni adanya ruang kelola bagi pengusaha anak papua yang sudah mampu dan berpengalamanm dan hal itu haruslah menjadi hal yang sangat khusus diperhatikan.
Dalam memberikan ruang kelola, mereka harus didahulukan untuk mendapatkan ruang untuk mengelola potensi tambang tetapi mereka juga harus melakukan kompensasi kepada masyarakat adat atau bisa juga masyarakat adat pemilik tanah dapat diberikan kemudahan mengurus ijin usaha pertambangan untuk mengelola wilayah adatnya.
Hal yang lain juga adalah karena banyaknya ijin kadangkala terjadi tumpang tindih wilayah, atau melakukan upaya penyerobotan dan memberikan label ilegal, karena adanya ijin yang diberikan diatas wilayah yang ada kegiatan pendulangan rakyat.
Kolaborasi UU No 21 Tahun 2001 dan UU No 3 tahun 2020 Kini kewenangan memberikan Ijin berada di Pemerintah Pusat dengan UU No 3 Tahun 2020, dalam rangka pelaksanaan Roh dari OTSUS PAPUA yaitu Keberpihakan, Perlindungan dan Pemberdayaan, dalam “Pasal 173A UU No 3 Tahun 2020, Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.
Hal mendasar yang menjadi isi UU No 21 Tahun 2001 antara lain pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.
Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai Subjek utama.
Pasal 42 (1) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat, secara implisit UU No 21 tahun 2001 telah mengatur tentang kegiatan tambang rakyat, .
Mentri ESDM diharapkan melakukan perubahan terhadap Peta Wilayah Pertambangan,dengan mengakomodir Kegiatan-kegiatan masyarakat menambang di Wilayah Papua agar ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat.
Sesuai dengan UU No 21 Tahun 2001 dan UU No 3 tahun 2020 Kementrian ESDM diharapkan agar mengakui dan mendelegasikan Pemberian Ijin Pertimbangan Rakyat oleh Gubernur Papua, sekaligus dapat menarik kewajiban penambang kepada daerah berupa retribusi.
Dengan dasar itu kami Forum Kerja Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua (Foker PSDA Papua) mengadakan Focus Group Diskusi bertema mendorong Legalisasi Pertambangan Rakyat di Papua.
FGD tersebut dilaksanakan pada hari selasa kemarin (19/01/21), pukul 09.00 s/d 12.00 WIT bertempat di Kantor Dinas ESDM Papua.
Hasil dari FGD tersebut yakni sebagai berikut :
1. Kami meminta agar Kementerian ESDM memberikan kewenangan penetapan WPR kepada Gubernur Papua sesuai dengan pasal 42 ayat 1 UU no 21 tahun 2001 dan Pasal 173 A UU No 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. ( Usulan John Gobai)
2. Pemerintah Provinsi Papua agar mengeluarkan rekomendasi kepada penambang rakyat yg sedang kerja sambil menunggu IPR. ( Usulan Olof Ohee)
3. Pemprov Papua agar menetapkan besaran jumlah iuran pertambangan rakyat agr masyarakat dapat membayar Sebagai PAD, agar tidak perlu lagi ada pungutan liar dr kelompok kelompok tertentu. ( Usulan Bp.Chris Wamuar)
4. Forum akan mendorong dibuatnya pendidikan pertambangan rakyat.
5. Kami meminta agar Pemprov Papua agar segera membahas dengan dinas ESDM Papua dan menetapkan Perda tambang rakyat. ( Usulan Rudi Mebri)
6. Direkomendasikan juga untuk akan ada pertemuan DPRP, MRP dan Kementrian ESDM agar disepakati bberpa kesepakatan untuk kegiatan pengelolaan pertambangan rakyat di Papua. (Penulis adalah anggota DPR Papua)