Oleh: Emanuel You
Nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama, dan pengalaman bersama. Sedangkan implementasi nasionalisme adalah mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya (Arief Budiman).
Bicara Nasionalime di Papua, bicara soal dua Nasionalime yakni Nasionalisme Indonesia dan Nasionalisme Papua Barat (West Papua). Ada pihak yang mengakui Papua sudah merdeka, namun berintegrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian dilain pihak mengatakan Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Bagimana sejarah Papua awalnya ? hanya Tuhan yang bisa menjawabnya.
Dua konteks pemahaman Nasionalisme ini betul-betul mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan sehari-hari di Papua. Karena itu, selama ini saya cukup merasakan kuatnya dua rasa nasionalisme ini. Bagi pihak yang memahami dan melaksanakan cinta tanah air terhadap West Papua menantang keras secara tersembunyi maupun nyata kepada pihak yang cinta terhadap tanah air Indonesia, sebaliknya juga demikian. Dilain pihak tidak peduli dan apatis terhadap nasionalime baik nasionalime Papua maupun Indonesia.
Tarik menarik paham nasionalime di Papua tidak sedikit nyawa manusia pun melayang. Disini terjadi Papua makan Pendatang, Pendatang makan Papua dan Papua makan Papua. Artinya bagi siapa yang pro nasionalime West Papua menjadi incaran utama dari pihak pro Nasionalime Indonesia sebaliknya juga demikian. Kedua pihak masing-masing mempertahankan kecintaan terhadap tanah air, maka dengan sendirinya rasa dua nasionalisme pun selalu melekat dalam dirinya dan tidak akan pernah ada penyelesaiannya dan titik temunya saling mengerut nyawa.
Nasionalsme Bagi Rakyat
Kita sudah merdeka, tapi apa hasil yang kita dapatkan dari kemerdekaan itu ? Kemerdekaan hanya bagi kaum atau golongan yang berstatus dalam aparatur negara (bagi yang sudah dihitung oleh negara), sedangkan bagi rakyat hanya mendapatkan residu. Karena itu di negeri yang penuh dengan tikus-tikus berdasi ini untuk mencari seorang nasionalisme dewasa ini sama sulitnya dengan memburu jarum yang jatuh ke tumpukan jerami.
Perlahan tapi pasti, rasa bangga pada negara dan bangsa yang bernama Indonesia, sudah mulai luntur dikikis oleh waktu. Tak cuma kepada generasi yang lahir di era ini, krisis nasionalisme juga sudah dialami oleh generasi yang lebih dulu lahir. Sebuah ungkapan dari Presiden John F. Kennedy: “Jangan bertanya apa yang dapat diberikan negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negara ini“.
Namun sebagian rakyat Indonesia terutama generasi muda malah membalik ungkapan itu, “Justru kami yang bertanya, apa yang telah diberikan negara kepada kami ? Memberikan rasa aman saja tidak, apalagi yang lain-lain.
Katanya negeri ini mampu dan punya kekayaan alam, cukup untuk menghidupi kami, mana?”. Lebih baik tidak membelah negara. Membelah juga, negara berikan apa kepada kami bahkan bisa juga kami dihabisi.
Bagi sebagian orang Indonesia, kini lebih suka memburu kehormatan, kekayaan, dan kepangkatan dari pada menyiram dan memupuk nasionalisme di dadanya. Nasionalisme sudah menjadi benda abstrak yang sulit ditemukan. Tidak ada lagi kebanggaan bernama Indonesia. Kalau memang masih ada, untuk apa mau bekerja sebagai buru kasar. Indonesia bagi mereka ini bermakna tidak ada harapan dan tidak ada masa depan.
Korupsi Virus Mematikan Rasa Nasionalisme
Dewasa ini sangat sulit untuk membedakan mana yang nasionalisme dan mana kapitalisme. Banyak orang yang mengatakan bahwa dirinya seorang nasionalis tetapi kelakuannya sama seperti kapitalis yang memperkaya diri sendiri dan tidak mau melihat kesusahan dan penderitaan orang lain. Seperti para koruptor yang menggorogoti kekayaan negara sehingga negara selalu dirugikan. Hasil bumi dirauk, hutan digunduli, lahan hijau dibangun gedung berbisnis, tapi coba kita pikirkan berapa persen yang bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat?
Saat ini jauh dari harapan untuk mengimplementasi nasionalisme yaitu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Apabila kepentingan bangsa dan negara dinomorduakan, maka semakin jauh pula harapan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Masa-masa penyakit Indonesia ini apakah mungkin dapat disembuhkan? Jawabannya ya, karena kita selalu diminta optimis, bukan pesimis, tapi berapa lama kita diminta optimis, 29 tahun lagi kah? atau hingga menjadi 100 tahun Indonesia merdeka.
Kita jangan pesimistis, namun semua elemen masyarakat harus memberikan makna kepada rakyat Indonesia terutama generasi penerus bangsa sekarang ini. Tentunya elite politik, baik dari pemerintah maupun semua juga harus memberikan contoh dan keteladanan dalam setiap pengambilan keputusan pembangunan, dan berbagai bentuk keputusan tentunya harus mendasarkan pada masalah kebangsaan, kemajemukan bangsa, Pancasila dan UUD 1945, baik dari inti Pembukaan UUD maupun teks Proklamasi itu sendiri secara konstitusional. Hal itu merupakan sebuah bagian yang dahulu oleh founding fathers kita selalu digambarkan secara rinci, yang dapat tercermin dari Sumpah Pemuda 1928 jauh sebelum kemerdekaan. Ini adalah sesuatu yang melalui proses, yang dapat memupuk semangat jiwa nasionalisme. (Siswono Yudohusodo).
Jangan menyalahkan founding fathers kita yang menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia (baca: Pembukaan UUD 1945 alinea ke-2) mengapa rakyat Indonesia hanya dihantarkan di depan gerbang kemerdekaan, tidak dimasukkan ke dalam pintu gerbang?. Sebuah pertanyaan yang tidak logis tapi mengandung makna yang dalam.
Di sinilah makna dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-2, bahwa kita semuanya butuh pengorbanan, butuh persatuan dan kesatuan, butuh nasionalisme dan cinta tanah air tinggi untuk meraih cita-cita tersebut.
Namun kenyataannya, nasionalisme telah pudar, disebagian hati rakyat Indonesia yang seharusnya berjuang untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan serta keutuhan wilayah, sehingga apa yang dihantarkan tadi dapat masuk ke dalam pintu gerbang. Dan yang menjadi permasalahan adalah apakah semakin jauh dari pintu gerbang atau semakin dekat?. Kita semua pasti bisa menjawabnya, karena sebagian rakyat Indonesia telah mengalami krisis Cintah Tanah Air dan Rasa Nasionalisme terhadap bangsa sendiri, maka pada akhirnya masyarakat adil dan makmur sulit sekali dicapai.
Nasionalisme Bagi Pejabat
Sebuah contoh kecil yang sering terjadi sekitar kita. Setiap menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI, di setiap Propinsi, Kotamadya/Kabupaten, Kecamatan, Keluruhan, RW/RT, menghimbau warganya untuk menaikkan Bendera Merah Putih di depan rumah/gedung perkantoran/sekolah/kampus.
Kita coba contohkan sebuah rumah, perhatikan ketika bendera tersebut dipasang ditiang dan ditancapkan di tanah, bendera tersebut tidak akan turun-turun bahkan berminggu-minggu kena panas, kehujanan bahkan warnanyapun sebagian pudar namun tetap dibiarkan. Apakah itu disebut nasionalisme, bendera saja kita tidak hormati sebagai salah satu yang paling kecil sebagai rasa nasionalisne negara ini.
Padahal aturannya bendera merah putih dinaikkan jam 06.00 pagi dan diturunkan lagi jam 18.00. Nah tidak dapat dipungkiri dibeberapa gedung perkantoran, tidak terlihat bendera merah putih apalagi tiangnya, nanti saat menjelang hari kemerdekaan tiang beserta benderanya baru dipasang. Belum lagi lagu Kebangsaan Indonesia Raya bila kita mendengar lewat radio atau televisi maka kebanyakan orang langsung merubah channelnya.
Berbeda dengan Negara Jepang, mereka sangat menghormati lagu kebangsaannya (Kimigayo), walaupun dia (baca:seseorang) dalam posisi yang sulit apabila dia mendengarkan lagu kebangsaan tersebut dia langsung berdiri dan hormat. Apa susahnya kita meniru atau menyontek negara Jepang, tentang contoh yang mulai dari hal yang kecil dulu. Padahal ketika Hiroshima dan Nagasaki di Bom Atom, beberapa hari kemudian kita memproklamirkan kemerdekan RI, terus mengapa kita jauh tertinggal dengan Jepang. Mungkinkah dengan rasa nasionalisme tadi berpengaruh pada kemajuan bangsa?.
Ya sangat berpengaruh, tapi dengan syarat mengajak seluruh komponen bangsa untuk menyatukan visi dan menghilangkan semua kepentingan pribadi maupun kelompok dan kembali berpikir bagaimana segera membangun bangsa ini kembali dari keterpurukan. Keterpurukan yang berlarut-larut hanya akan mengakibatkan semakin banyaknya daerah yang bergolak. Kalau seluruh komponen bangsa tidak segera berbuat, dikhawatirkan negara RI dari Sabang sampai Merauke suatu saat hanya akan tinggal kenangan. (Endriartono Sutarto).
Nasionalisme jangan diartikan secara sempit. Hal ini terkait dengan adanya pendapat yang menafikan nasionalisme, yang hanya mementingkan kesejahteraan, dan bisa berbuat apa pun untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kelompoknya semata. Kita harus melihat segala sesuatu dalam arti yang luas, dalam sebuah bangsa yang besar yang masih memerlukan sentuhan-sentuhan di semua aspek. Siapa pun orangnya, di mana pun tempatnya, dalam mengambil sebuah keputusan atau yang ikut terlibat dalam sebuah proses keputusan, tetap harus memperhatikan kemajemukan dan kebangsaan. Hal-hal itu harus menjadi landasan yang paling prinsip dan hakiki.
Kita harus mewariskan kepada generasi penerus bangsa, untuk anak cucu kita sampai ribuan tahun ke depan. Siapa pun yang sekarang menikmati, siapa pun yang sekarang diberi kesempatan memimpin negeri ini, harus memanfaatkan kesempatan itu untuk ke depan dan bukan untuk kepentingan sesaat saja. SEMOGA
(Penulis adalah jurnalis media harian Papuapos Nabire)