DALAM dua minggu terakhir isu rasialisme Papua kembali marak.
Paling tidak, hal itu dipicu oleh putusan jaksa terhadap 7 pemuda Papua dalam kasus demonstrasi pertengahan 2019 lalu di Balikpapan, Kaltim, yang dianggap diskriminatif dan tidak memenuhi unsur keadilan.
Kedua, gerakan protes dan aksi demo itu diinspirasi oleh gerakan yang hampir sama di AS, Black Lives Matter, menyusul kematian George Floyd akibat tindak kekerasan oleh seorang polisi kulit putih.
Ketiga, ramainya diskusi dan dialog online yang dilakukan berbagai kalangan tentang rasialisme dan diskriminasi.
Termasuk, pada Sabtu (20/6) yakni diskusi daring yang dilaksanakan Gugus Tugas Papua UGM.
Diskusi daring itu mengambil topik Membangun Harmoni di Tengah Isu Rasisme dan Diskriminasi.
Meskipun topiknya bersifat umum, karena diselenggarakan Gugus Tugas Papua UGM, maka tidak dapat dihindari pembicaraan sekitar masalah rasialisme dan diskriminasi di Papua.
Diskusi tersebut menampilkan narasumber, di antaranya, Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V KSP), Amiruddin al Rahab (Wakil Ketua Komnas HAM RI), Marinus Yaung (dosen HI FISIP Uncen), Jemi Kudiai (Wakil Sekjen DPP Jaringan Kemandirian Nasional), dan penulis sendiri.
Memahami akar masalah Dalam sambutan pengantar diskusi daring ini, Ketua Gugus Tugas Papua UGM Bambang Purwoko menegaskan, perlu diupayakan untuk mengetahui dan memahami akar masalah rasialisme.
Dengan begitu, maka dapat diupayakan solusinya untuk menghapuskan masalah rasialisme sehingga dapat memantapkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dari konstatasi Ketua Gugus Tugas Papua UGM itu, saya menggarisbawahi bahwa munculnya rasialisme di Papua disebabkan bahwa selama Indonesia merdeka 75 tahun ini, 'akar masalah' Papua belum pernah diselesaikan secara tuntas.
Akibatnya muncullah rasialisme dan perlakuan tidak adil yang dirasakan oleh orang Papua.
Karena, menurut pandangan orang Papua, rasialisme itu merupakan kebijakan negara suka atau tidak suka, itulah pandangan mereka.
Sebab selama Indonesia merdeka dan 57 tahun (1 Mei 1963-2020) pascaintegrasi maupun 20 tahun setelah implementasi otsus, kita sebagai bangsa dan negara tidak pernah ada kemauan politik sedikit pun untuk menyelesaikan akar masalah Papua.
Apa itu akar masalah Papua yang kemudian berimplikasi terhadap munculnya rasialisme dan diskriminasi terhadap orang Papua.
Akar masalah Papua sudah tertulis dan diamanatkan oleh UU RI No 2/2001 tentang Otsus Papua.
Masalah-masalah mendasar itu ialah, pertama, meminimalisasi kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya di antara Orang Papua.
Kedua, meminimalisasi kesenjangan pembangunan antara Papua dan wilayah-wilayah lain di Tanah Air.
Ketiga, menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diakukan aparat pemerintah atas nama negara.
Keempat, klarifi kasi sejarah 'penyatuan' Papua dengan RI demi pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Keempat faktor substantif akar masalah Papua yang diperkuat dengan kajian dari LIPI dalam Road Map Papua itu, ternyata selama 20 tahun otsus dilaksanakan baru dua hal yang dapat dikatakan telah dipenuhi, yaitu faktor pertama dan kedua, yang memang memberikan kemajuan untuk Papua.
Namun, mesti diakui bahwa belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan dan pemerataan hasilnya meski ada 'kemajuan' di sana-sini di Papua.
Untuk poin ke-3 dan 4, belum sama sekali ada kemauan politik dari pemerintah untuk membicarakan secara transparan, demokratis, dan bermartabat.
Ada kesan dari Orang Papua bahwa ada unsur segan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Contoh kasus Wasior, Wamena berdarah yang laporan dokumennya sudah 17 tahun mengendap di Kejaksaan Agung, hingga kini belum dituntaskan.
Jangan-jangan sudah dimasukkan 'peti mati' dan dikuburkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Selain itu, kasus Paniai berdarah yang terjadi 8 Desember 2014, lima tahun yang lalu--dua bulan setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wapres.
Bahkan, tatkala kunjungan Presiden Jokowi di Jayapura pada 27 Desember tahun yang sama di Stadion Mandala Jayapura, penulis menyaksikan Presiden berjanji segera menyelesaikan kasus Paniai.
Namun, pada 29 Mei 2020 Kejaksaan Agung mengembalikan laporan dokumen Paniai kepada Komnas HAM.
Kemauan politik Menurut pendapat saya, pengembalian dokumen laporan kasus Paniai itu menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung tidak memiliki kemauan politik, juga tidak merealisasikan janji Presiden lima tahun yang lalu untuk menuntaskan kasus Paniai.
Padahal, dengan pemerintah serius dan sungguh-sungguh menyelesaikan kasus Paniai itu, maka selain membuat rakyat Papua percaya, sekaligus sebagai entry point, pintu masuk pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus HAM lainnya seperti diamanatkan oleh Pasal 46 UU 21/2001.
Pada saat yang sama, dapat meminimalisasi kecurigaan orang Papua bahwa rasialisme dan diskriminasi itu bukan merupakan kebijakan negara.
Seperti yang disinyalir Amiruddin al-Rahab dari Komnas HAM dalam diskusi daring itu, sudah terbentuk persepsi di kalangan orang Papua bahwa memang selama ini negara tidak memperlakukan mereka dengan adil.
Persepsi seperti itu sudah terbentuk dan sulit untuk dihilangkan. Selanjutnya, menurut Amiruddin, perspektif orang Papua yang sudah terbentuk dan terkristalisasi itu disertai pemaksaan identitas tunggal oleh negara, yang pada gilirannya muncul kesadaran untuk melakukan perlawanan.
Untuk Papua sejak 20 tahun lalu, tatkala draf UU Otsus dirancang dan dibuat sudah memperkirakan, jika akar masalah Papua seperti yang tercantum eksplisit dalam batang tubuh UU 21/2001 tidak dilaksanakan secara baik dan benar, maka kita dihadapkan pada aksi protes dan demo yang dimotori mahasiswa dan pemuda kaum milenial Papua yang sudah melek intelektualnya.
Mereka juga melek menggunakan sarana IT, berkolaborasi dengan sesama kaum milenial lain di Tanah Air, juga di luar negeri.
Maka, lengkaplah perlawanan mereka.
Menurut hemat saya, belum terlambat kita mesti mencari cara dan jalan terbaik untuk kembali pada komitmen politik menuntaskan akar masalah Papua seperti yang telah diamanatkan UU RI No 21/2001 tentang Otsus Papua, sebelum lagu Terlambat Sudah oleh Panbers tergenapi untuk Papua.
(Frans Maniagasi, Pengamat Masalah Politik Lokal Papua)