Oleh : Santon Tekege
Orang asli Papua berada di pulau Papua.
Mereka ada di tanahnya, memiliki dusunnya.
Mereka bisa berkebun.
Mereka bisa mengolah tanah dan dusunya.
Mereka bisa makan ubi, petatas, keladi, ikan, udang, dan babi serta sayur-sayuran dari kebun dan hutannya mereka.
Mereka tidak ada kesulitan ketika mereka berada di hutan dan dusun serta tanahnya mereka.
Dari sinilah mereka mengalami suasana damai dan menyatu dengan alam di tanah dusunnya.
Mereka rasakan dunia surganya bagaikan surga kecil sudah jatuh ke bumi Papua.
Dari semua suasana yang sudah dan sedang dirasakan itu, mereka tidak butuhkan dana besar untuk membangun Papua.
Pemerintah Indonesia paksakan dengan Dana besar Otonomi Khusus atau “Otsus” juga akan sama saja tak ada rasanya.
Semua akan hilang ditengah jalan sampai masyarakat kecil di kampung-kampung tak merasakan apa-apa.
Namun saya mau beritahu Presiden RI Bapak Jokowi, Mendagri Pak Tito Karnavian, Menkopolhukam Pak Mahmud MD bahwa masyarakat asli papua yang kecil, miskin, dan lemah yang berada di dusunnya maupun tanahnya bisa hidup, aman, damai tanpa Otonomi Khusus Jilid 2 di Tanah Papua.
Tanpa perusahan Tambang Emas, orang asli Papua bisa hidup.
Tanpa perusahan sawit, orang asli papua bisa makan sagu dan petatas.
Tanpa perusahan minyak dan gas, orang asli papua bisa aman dan damai hidupnya.
Dalam tulisan ini akan disajikan bagaimana realita hidup masyarakat Papua di era Otonomi Khusus, apakah adanya kekerasan dan konflik di Era Otonomi Khusus di Papua, dan betulkah Otonomi Khusus membuka Peluang bagi para transmigrasi di Tanah Papua, dan akhirnya mereka katakan Orang Asli Papua bisa hidup tanpa Otonomi Khusus Jilid 2 di Tanah Papua.
Jadi para petinggi Jakarta tidak perlu adakan bermacam-macam program sebagai bentuk tawaran dan paksaan tentang Otonomi Khusus jilid 2 karena buktinya Otonomi Khusus sudah gagal total di Tanah Papua.
Realitas hidup Masyarakat Papua di Era Otonomi Khusus Pemberlakuan Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Propinsi Papua dan Papua Barat karena gejolak politik Papua merdeka semakin panas di dalam negeri maupun di luar negeri sejak tahun 1998-2001.
Untuk meredam situasi politik Papua Merdeka itu, diberikan otonomi khusus sejak 21 November 2001.
Umur Otsus sekarang mau mencapai 20 tahun.
Tujuannya adalah peningkatan kesejahteraan orang asli papua mencakup dalam beberapa aspek: Pembangunan dalam bidang Insfrastruktur, pembangunan dibidang pendidikan, pembangunan dibidang kesehatan, pembangunan dibidang pemberdayaan ekonomi orang asli papua, pembangunan dalam bidang hak-hak dan martabat orang asli papua, dan pembangunan dalam bidang iman dan kepercayaan.
Semua aspek-aspek di atas ini telah dinyatakan gagal di tanah papua (Baca laporan Situasi Umum di Tanah Papua dari SKPKC Fransiskan Jayapura, SKPKC Sinode GKI Jayapura, dan LIPI Jakarta).
Akhir dari laporan itu adalah “Jakarta telah menipu dan bohong kepada orang asli papua” dengan semboyang: “OTONOMI KHUSUS UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ORANG ASLI PAPUA”.
Padahal orang asli papua hidup dalam kemiskinan di negerinya sendiri.
Walaupun dana Otsus yang dikucurkan ke Papua sangat tinggi belum terhitung uang yang dikelolah lembaga-lembaga non-pemerintah dan perusahan-perusahan besar.
Tapi nyatanya kemiskinan sangat tinggi di Papua.
Tingkat kemiskinan yang amat tinggi ini oleh BPS 2010 Propinsi Papua disebut sebagai kemiskinan absolut dan ekstrim.
Bersifat absolut karena hal-hal pokok (basic needs) yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyaris tak terpenuhi.
Bagi saya, UU Otsus rupanya diidentikan dengan uang.
Otsus adalah uang, sehingga hampir setiap tahun dana trilyunan rupiah dikucurkan ke Papua.
Masyarakat selalu antusias menerima pencairan dana Otsus.
Dana Otsus yang diberikan itu jumlahnya tidak sedikit.
Misalnya, anggaran dana Otsus dari tahun 2002 hingga 2007 masing-masing adalah; 1,2 trilyun (2000),
1,3 trilyun (2003),
1,4 trilyun (2004),
1,5 trilyun (2005),
1,7 trilyun (2006), dan 3,2 trilyun (2007).
Jadi jumlah total anggaran dana Otsus untuk Papua sejak tahun 2000 hingga 2007 sebanyak 10,3 trilyun.
(sumber data: Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No.33/September 2007, hal 42).
Belum terhitung dengan anggaran dana Otsus tahun 2008 dan 2009.
Dan juga Anggaran dana Otsus sejak 2010-2019 terus meningkat nilainya hingga ratusan trilyun rupiah.
Dana yang begitu banyak dikucurkan tetapi tetap saja masyarakat asli papua hidup dalam keterpurukan.
Kini, Dana Otsus harus tambah besar, kata Menteri Dalam Negeri,Tito Karnavian.
Katanya, Dana Otsus akan menambah besar bagi kedua Propinsi bagian timur Indonesia yaitu propinsi Papua dan Papua Barat (baca Antara News, 22 Juli 2020).
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan “Menkopolhukam” Mahmud MD, “saat ini Presiden Jokowi sedang menyiapkan intruksi presiden (Inpres) yang lebih konprehensif terkait percepatan pembangunan daerah kedua propinsi Indonesia bagian Timur ini.
Tujuannya adalah lebih pada kesejahteraan orang asli papua.
(baca Media Sindonews pada 22 Juli 2020).
Saya berpikir bahwa banyaknya dana dan propgram yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat tersebut dipandang sebagai upaya untuk kesejahteraan orang asli Papua akibat kegagalan pembangunan di Tanah Papua.
Singkatnya karena kegagalan pembangunan, dana dan propgram Otsus harus lebih banyak diberikan untuk kesejahteraan orang asli Papua.
Meskipun persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan, Otsus sendiri tidak akan pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.
Nyatanya sejak Otsus diberlakukan, pertumbuhan ekonomi masyarakat justru menurun drastis bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum Otsus.
Menurut LIPI pertumbuhan ekonomi tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18%, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%; sedangkan pertumbuhan ekonomi sesudah Otsus diimplementasikan pada tahun 2002, 2003, 2004, hanya mencapai 8,7%, 2,96%, dan 0,53%. (baca buku Papua Road Map, Widjojo: 2009: 14).
Sementara menurut BPS Pusat Indonesia sejak 2010 di Jakarta menggambarkan situasi ekonomi di kedua Propinsi Papua berada pada posisi terendah yakni 0,51%.
Suasanan ini dapat dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia gagal dalam pola pendekatan dan pembangunan di Tanah Papua.
Data kemiskinan menurut BPS Pusat 2010 di Indonesia memperlihatkan bahwa Propinsi Papua (Data kemiskinan: 37,53%) dan Papua Barat (Data Kemiskinan: 35,71%) berada pada posisi paling bawa dari seluruh Propinsi di Indonesia.
Nah, sekarang kita lihat lagi data kemiskinan kedua propinsi Indonesia bagian Timur setelah 9 tahun yaitu data kemiskinan pada 2019 di Propinsi Papua 26,55%, sedangkan propinsi Papua Barat 21,51.
Secara nasional Propinsi Papua dan Papua Barat berada pada posisi penduduk kemiskinan paling terendah yaitu 9,22%.
Padahal Jakarta kucurkan dana Otsus lebih besar tapi dana Otsus itu hilang di aparat keamanan militer Indonesia dan aparatur pemerintah kabupaten/kota dan propinsi sementara masyarakatnya semakin terpuruk kemiskinan ditanah Papua.
Tujuan Otsus sudah gagal total di tanah Papua.
Kekerasan dan Konflik di Era Otonomi Khusus di Tanah Papua Dalam Era Otonomi Khusus banyak terjadi pelanggaran HAM berat maupun ringan yang dilakukan oleh negara melalui pendekatan aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua.
Dalam laporan ELS-HAM Papua pada 2019 diperlihatkan berbagai kasus pelanggaran HAM.
Kasus pelanggaran HAM itu adalah kasus Biak Berdarah (1998), kasus Abepura berdarah (2000), kasus Wamena berdarah (2000), kasus Merauke berdarah (2000), kasus pembunuhan Theys (2001), kasus Wasior berdarah (2001), kasus Wasior berdarah (2003), kasus Wamena berdarah (2003), kasus Abepura berdarah (16 Maret 2006), kasus penembakan warga di Puncak Jaya (1 Mei 2009 dan Juni-Oktober 2010 serta September Oktober 2011 dan Mei 2012), kasus penganiayaan warga di Krulu Wamena sejak (2 November 2011), Kasus Penembakan 13 warga sipil mati di Honelama dan Sinakma di Wamena sejak (6 Juni 2012), Kasus Penembakan pada 4 warga mati di Degeuwo Paniai sejak (13 November 2011 dan 2012), Kasus penembakan 3 warga sipil mati tewas mil 32 di Timika (sejak 2011 dan 3 orang warga tewas mati di Kwamki Lama sejak 18-20 Juni 2012).
Kasus penembakan yang menewaskan 3 warga sipil mati di Aimas Sorong 2014.
Dan kasus Penembakan Paniai berdarah 8 Desember 2014 yang menewaskan 4 orang siswa SMA, Nduga berdarah mulai dari 1 Desember 2018 sampai 2020, Dogiyai berdarah 2015 yang menewaskan 2 warga sipil, Koperapoka Timika 2015 yang menewaskan 3 pemuda, Oneibo Deiyai berdarah 1 Agustus 2017 yang menewaskan 3 orang warga sipil masyarakat, kasus Fayit, Asmat berdarah 2017 yang menewaskan 7 orang warga sipil, dan kasus penolakan rasis yang berujung pada korban penembakan 9 orang warga sipil di Deiyai 28 Agustus 2019, dan kasus gugurnya beberapa orang pelajar akibat ujaran monyet rasisme dari seorang ibu guru di Wamena pada September 2019, dan begitu banyak korban penembakan terhadap warga sipil di tanah Papua selama ini (tetapi saya tidak menulis semua korban tewas mati ditembak di sini).
Kalau konflik dan kekerasan di Tanah Papua hanya direduksi ke dalam kegagalan pembangunan, maka Otsus jelas-jelas gagal mensejahterakan orang asli Papua.
Bila Otsus gagal meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua, maka tuntutan kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera.
Akibatnya konflik dan kekerasan pun tidak akan pernah selesai.
Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pun juga tidak akan pernah berhenti.
Akan tetapi bagi saya konflik dan kekerasan di Papua bukan hanya disebabkan oleh kegagalan pembangunan, kendati kegagalan pembangunan merupakan salah satunya.
Konflik dan kekerasan di Papua lebih pada persoalan sejarah berdirinya sebagai sebuah negara pada 1 Desember 1961 (tetapi sejarah itu dijajah dan ditindas sampai sekarang 2020).
Dan persoalan identitas jati diri bangsa Papua. Persoalan manipulasi dan pencaplokan sejarah integrasi dan identitas bangsa merupakan persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya untuk perjuangan meraih kemerdekaan West Papua yang pernah ada itu.
Apabila pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan Papua mungkin saja bisa dikurangi bahkan tidak ada lagi terjadi.
Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan fundamental ini.
Para menteri khususnya “Mendagri Tito Karnavian, dan Menkopolhukam Mahmud MD” mengira bahwa konflik dan kekerasan di Papua diakibatkan oleh kegagalan pembangunan.
Sementara Jakarta mengabaikan sisi fundamental dari konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua selama ini.
Sengaja saja para petinggi Jakarta abaikan semua usulan demi terciptanya perdamaian di tanah Papua melalui jalan dialog.
Kalau dialog itu terjadi maka situasi damai dan aman.